Jet lag terjadi akibat kacaunya ritme sirkadian tubuh karena berpindahnya seseorang ke zona waktu yang berbeda. Perpindahan ini mengacaukan ritme tersebut dan terkadang menyebabkan beberapa efek buruk seperti insomnia, kelelahan, masalah fokus, sakit kepala, dan masalah pencernaan.
Mengutip Medical News Today pada Minggu (3/3/2019), tidak ada perawatan khusus untuk efek buruk dari jet lag. Namun, sekelompok peneliti menyatakan bahwa olahraga bisa melawan efek negatif dari gangguan ritme sirkadian.
Shawn Youngstedt dari College of Nursing and Health Innovation dan College of Health Solution di Arizona State University, Phoenix, Amerika Serikat meneliti efek olahraga pada 51 peserta yang sehat berusia 59 sampai 75 tahun. Selain itu, mereka juga menganalisis 48 peserta berusia 18 sampai 30 tahun.
Para peserta ini diukur ritme sirkadiannya serta bagaimana olahraga berpengaruh pada mereka selama 5,5 hari. Secara khusus, para relawan ini melakukan satu jam latihan treadmill selama tiga hari berturut-turut di satu dari delapan waktu yang berbeda pada siang atau malam hari. Jam tubuh dasar para peserta dilihat dengan menganalisis sampel urin mereka dan menentukan kadar melatonin mereka.
Berolahraga pukul 07.00 atau di antara 13.00 siang hingga 16.00 sore menggeser ritme sirkadian ke waktu sebelumnya. Sementara, berolahraga antara pukul 19.00 hingga 22.00 mendorong jam tubuh kembali. Usia atau jenis kelamin tidak mempengaruhi hasil ini. Di sisi lain, olahraga antara pukul 01.00 dini hari hingga 04.00 pagi, atau pada pukul 10.00 tidak mempengaruhi kadar melatonin.
Ingin Liburan ke Negeri Sakura? Dapatkan Promo Paket Wisata Menarik di Japan Travel Fair 2019!
“Olahraga diketahui menyebabkan perubahan pada jam tubuh. Kami memperlihatkan dengan jelas dalam penelitian kapan olahraga menunda jam tubuh dan kapan memajukannya,” tulis Youngstedt.
“Ini adalah studi pertama yang membandingkan efek olahraga pada jam tubuh dan bisa membuka kemungkinan menggunakan olahraga untuk membantu melawan efek negatif dari jet lag dan kerja shift,” tambahnya.
Namun, Youngstedt menambahkan bahwa penelitian ini melihat hasil dari peserta dengan tingkat kebugaran yang lebih sehat daripada yang lainnya. Hasilnya belum tentu sama dengan mereka yang tidak terlalu sehat.