Pemerintah dari berbagai negara terkadang mengaku bahwa upaya mereka mengendalikan hidup warga adalah demi kebaikan bersama. 5 Peraturan Aneh yang Berlaku di Beberapa Negara. Nomor 4 Bikin Ketawa!
Pemerintah dari berbagai negara terkadang mengaku bahwa upaya mereka mengendalikan hidup warga adalah demi kebaikan bersama, semisal keamanan nasional, moralitas, dan keselamatan pribadi.
Akan tetapi, tentu saja ada aturan-aturan yang jelas nyeleneh. Korea Utara, misalnya, dikenal sebagai negara terkucil paling represif sedunia. Celana jins juga dilarang di sana. Alasannya, jins dianggap sebagai perlambang budaya Barat, khususnya Amerika Serikat yang menjadi musuh bebuyutan Korea Utara.
Berikut ini adalah lima aturan aneh lain yang ada di berbagai bagian dunia:
1. Saus Tomat Dibatasi – Prancis
Pada 2011, sekolah-sekolah dasar Prancis menerbitkan panduan diet baru yang membatasi jumlah saus tomat di kantin sekolah. Larangan itu mengizinkan siswa mendapatkan kentang goreng (french fries) hanya sekali dalam seminggu dan saat itulah mereka boleh mendapat saus.
Akan tetapi, penggunaan saus dilarang sama sekali di sekolah dasar pada makanan tradisional Prancis. Tujuannya agar anak-anak akrab dengan resep Prancis sehingga mereka bisa meneruskannya ke generasi berikut.
Traveling Mau Ngajak Teman? Ini Tips Memilih Teman Saat Traveling…
2. Dilarang Mengerutkan Alis Mata – Milan, Italia
Di Milan, Italia, ada larangan mengerutkan alis kecuali selama pemakaman atau kunjungan-kunjungan ke rumah sakit. Peraturan kota mewajibkan orang tetap memasang senyum di wajah mereka. Jika ada warga yang tidak mematuhi, ia bisa dikenakan denda.
Jangan kaget ada peraturan seperti itu. Peraturan tersebut diterbitkan ketika Austria berkuasa atas Milan pada Abad ke-19, hanya saja larangan itu tidak pernah dicabut hingga sekarang.
3. Pendidikan Seks Dilarang – Uganda
Banyak negara membanggakan diri karena mampu menyediakan pendidikan reproduksi kepada kaum muda mereka. Di Uganda justru sebaliknya dan pendidikan seks secara komprehensif malah dilarang.
Beberapa kelompok nirlaba (nonprofit) mencoba mengajukan peninjauan terhadap aturan tersebut, karena larangan demikian dipandang menjadi ancaman bagi perkembangan sosial Uganda dan meningkatkan jumlah warga yang terkena HIV/AIDS.
Sekolah, para pendamping, dan organisasi-organisasi non-pemerintah mengalami kesulitan mengajarkan bahan yang oleh mereka dianggap penting bagi masa depan kaum remaja Uganda. Beberapa orang guru bahkan khawatir akan dianggap melanggar hukum jika menjawab pertanyaan seputar seks yang diajukan oleh para siswa.
Pada 2017, lembaga nirlaba bernama Pusat Hak Azasi Manusia dan Pembangunan mengajukan gugatan hukum untuk memaksa pemerintah agar mengembangkan kebijakan pendidikan sek komprehensif. Pengadilan Uganda masih harus memutuskan terkait gugatan tersebut.
4. Sendal Jepit Dilarang – Capri, Italia
Boleh saja melarang pemakaian sandal jepit di tempat tertentu, misalnya di tempat pekerjaan. Atau, larangan mengenakan sandal jepit di lounge bandara seperti kebijakan larangan oleh perusahaan penerbangan Qantas.
Namun, larangan pemakaian sandal jepit berlaku di seluruh wilayah pulau Capri di Italia. Larangan itu bahkan termasuk yang paling aneh karena didasarkan kepada keinginan warga lokal untuk hidup tenang terbebas dari suara berisik dari pemakaian sandal jepit.
POPle, Hindari Sakit saat Traveling dengan 4 Cara Simple Ini!
5. Jangan Pakai Kaus Berwarna Kuning – Malaysia
Pada 2015, terjadi unjuk rasa besar-besaran di Malaysia. Sebagian besar para pelaku unjuk rasa di Kuala Lumpur tersebut menyerukan pemecatan Perdana Menteri Najib Razak.
Unjuk rasa dipicu oleh kabar tentang transfer uang senilai US$ 600 ribu dari suatu bank pembangunan dukungan Goldman Sachs ke rekening pribadi sang Perdana Menteri.
Unjuk rasa dihadang dengan meriam-meriam air dan gas air mata. Tapi, ketika massa pelaku unjuk rasa semakin banyak, pemerintah Malaysia kemudian melarang penggunaan kaus T-shirt berwarna kuning.
Padahal, kaus kuning yang dianggap bermasalah adalah kaus-kaus bertuliskan kata “Bersih”. Pemerintah Malaysia sempat mencari-cari dalih pembenaran hingga akhirnya digugat secara hukum oleh pengelola unjuk rasa.
Pengadilan Malaysia awalnya berpihak kepada pemerintah, tapi pengadilan banding kemudian memutuskan untuk mencabut larangan itu pada 2016.