Cedera paru akibat rokok elektrik ini, belakangan diketahui dengan sebutan EVALI. EVALI, Inilah Nama Baru Penyakit Paru yang Mengintai Para Perokok Elektrik
Penyakit paru terkait rokok elektrik yang membuat jatuh sakit lebih dari 1.000 orang, serta menelan korban jiwa lebih dari 20 orang di Amerika Serikat baru-baru ini akhirnya diberikan sebuah nama oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC).
Dalam laporannya di Morbidity and Mortality Weekly Report pada 11 Oktober, CDC menyebut penyakit paru itu sebagai EVALI atau singkatan dari “e-cigarette or vaping product use associated lung injury” yang dalam bahasa Indonesia berarti penyakit paru terkait penggunaan produk rokok elektrik atau vaping.
Dilansir dari People, para pasien yang mengalami EVALI akan terkena gejala seperti pneumonia yaitu batuk, nyeri dada, dan sesak napas. Di samping itu, gejala lainnya adalah sakit perut, mual, muntah, dan diare disertai demam, rasa dingin, dan penurunan berat badan.
Hirup Vape Terbukti Bisa Sebabkan Penyakit Paru dan Kematian!
“Semua penyedia layanan kesehatan yang mengevaluasi pasien EVALI harus bertanya tentang penggunaan produk rokok elektrik atau vaping, dan idealnya harus bertanya tentang jenis zat yang digunakan,” tulis CDC dalam laporan tersebut.
Laporan CDC juga mengungkapkan, Oktober 2019 lalu, sudah ada 1.299 kasus EVALI yang ditemukan di negeri Paman Sam itu. Dari seluruhnya, ada 26 korban meninggal dunia di 21 negara bagian.
“Sayangnya, lebih banyak orang dirawat di rumah sakit karena penyakit paru setiap minggunya,” kata Anne Schuchat, wakil direktur utama CDC dikutip dari Scientific American.
Selain itu, beberapa pasien yang sempat dirawat dan telah dipulangkan karena penyakit tersebut, diketahui kembali ke rumah sakit. Umumnya, hal itu terjadi antara lima sampai 55 hari usai mereka kembali ke rumah.
Schuchat mengatakan belum ada kejelasan mengapa itu bisa terjadi. Beberapa pihak sedang melakukan penyelidikan, salah satunya terkait apakah diakibatkan melemahnya paru-paru karena penyakit atau obat kortikosteroid yang digunakan dalam perawatan. Bisa juga diakibatkan penggunaan rokok elektrik lagi oleh pasien.
CDC dan Food and Drug Administration sendiri masih kesulitan dalam melakukan investigasi terkait kasus ini sejak penemuan awal. Hal itu dikarenakan banyaknya ragam jenis produk yang tersedia.
Hampil 60 persen pasien menggunakan produk dengan nikotin, sementara 76 persen menggunakan produk berbasis THC atau Tetrahydrocannabinol (senyawa yang terkandung dalam ganja).
“Mungkin ada lebih dari satu penyebab wabah ini,” kata kepala FDA Ned Sharpless mencurigai.