Pernah dengar berita pria di China yang meninggal karena terlalu lama bermain game online? Atau seorang ibu yang dijatuhi hukuman penjara karena menelantarkan anaknya demi bermain facebook. Duh, masalah seperti itu tentu harus menjadi perhatian yang serius.
Perkembangan teknologi seperti internet memang baik didukung, namun jika penggunaannya berlebihan tentu bisa berujung buruk. Sudah bukan hal yang baru rasanya di saat Anda bangun tidur gadget dan internetlah yang lebih dulu Anda sentuh dari pada sarapan di meja makan.
Jika dilihat dari segi fungsi, internet memang sangat membantu dan memudahkan segala urusan Anda, namun jika terlalu bergantung dengan kecanggihan internet tentu tak baik juga untuk kehidupan. Rasanya inilah yang di khawatirkan oleh pemerintah di China, bahkan Negara Tirai Bambu ini sampai melabeli kecanduan internet sebagai penyimpangan klinis.
Tidak hanya di China. Korea Selatan pun sudang berupaya hingga menciptakan aplikasi untuk memantau penggunaan ponsel di kalangan remaja. Kemudian juga menegaskan pelarangan bermain video game terhadap anak-anak jika sudah menjelang waktu tidur.
Psikiater bernama Thomas Lee yang mendalami ilmu psikologi di Singapura beranggapan, Negara-negara Asia seharusnya sudah bisa mengikuti jejak kedua Negara tersebut. Kecanduan ponsel bisa dikategorikan sebagai penyimpangan jiwa yang sama halnya dengan kecanduan seks dan judi.
Lee mengatakan, “pengguanaan ponsel yang dapat membuat seseorang menjadi nyaman, mirip dengan pengaruh narkoba kepada perilaku seseorang. Pecandu narkoba dan pecandu ponsel menunjukan gejala-gejala yang sama seperti tidak nyaman, cemasan bahkan marah.”
“Riset ini masih dalam tahap dini sehingga masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Di mana kecanduan teknologi sebenarnya memiliki kesamaan mekanisme dengan kecanduan lainnya,” lanjut Lee.
Menanggapi positif argumen Lee. Psikiater Adrian Wang juga mengaku enggan mendiagnosa tipe kecanduan seperti itu. Hal ini dilakukan untuk menghindari ‘pemberian obat terhadap masalah sosial’, dimana lebih mengacu kepada keluarga dan kepercayaan diri.
Hem, bagaimana? Apa menurut Anda Indonesia perlu menerapkannya juga?